Dia mengatakan, dalam UU pertambangan merupakan rezim khusus di luar tindak pidana korupsi, sehingga berlaku asas lex spesialis sistematis.
Jadi, kata Suhardi, dugaan tindak pidana yang saat ini disidik Kejaksaan Tinggi NTB sama sekali tidak ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi sebagaimana terdapat pada undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Mengingat hal-hal yang berkenaan dengan unsur penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana pertambangan telah diatur di dalam pasal 165 UU No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan dan meniral batubara sebagaimana perubahannya dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas UU No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan dan mineral batubara," ungkapnya.
Suhardi mengatakan berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, seyogyanya penyidik Kerjaksaan Tinggi NTB meninjau atau penelitian kembali.
Dia menjelaskan persoalan tambang pasir besi itu berkaitan dengan wajib pajak atau pemegang IUP yang belum membayar iuran produksi atau royalti atas billing/tagihan final.
Secara teknis, pembayaran iuran produksi itu dapat dibayarkan melalui e-PNBP yang tertera dalam Modi Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
E-PNBP itu merupakan aplikasi dalam memperhitungkan, termasuk pembayaran dan verifikasi iuran tetap, royalti dan penjualan hasil tambang yang telah diterapkan sejak 25 April 2021.
Editor : Edy Gustan
Artikel Terkait