Menyulam Asa di Atas Luka

Dianty Ahmad
Ilustrasi. Foto: Istimewa

Kemudian, dokter setengah baya itu memanggil asistennya untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.

Ketika Dokter dan asistennya itu sedang berbicara, Rohan menarik tangan Hamidah pelan.

"Bagaimana dengan biayanya? Apa uang kita cukup?" bisiknya pelan di depan wajah sang istri.

"Insyaallah cukup," jawab Hamidah dengan berbisik pula.

Hamidah berusaha tenang di hadapan suaminya, padahal jauh di lubuk hati dia sedang berdoa. Berharap semoga uang pinjaman dari Bang Rusli dan sedikit simpanannya, bisa mencukupi biaya pengobatan Rohan.

Dia menepuk-nepuk perlahan dompet biru tua yang mulai kusam warnanya itu, menyembunyikan kegelisahan yang mulai mendera.

Batinnya terus menjerit menyebut nama Allah, berharap uang delapan ratus ribu di dalam dompetnya cukup.

Dokter Hendro kembali menerangkan tindakan yang akan dilakukan, jenis gips yang akan dipakai dan sebagainya.

Sepasang suami-istri itu mengangguk-anggukkan kepala seolah mengerti.

Nyatanya, Hamidah sibuk menerka-nerka berapa biaya yang akan dikeluarkan nanti. Sedangkan Rohan, sibuk menghitung hari yang akan dihabiskan di rumah, tanpa melakukan kegiatan seperti biasanya.

"Kalau sudah begini, sebaiknya Bapak memakai tongkat untuk membantu berjalan. Tetapi kaki kiri Bapak belum boleh dipakai menapak ya, Pak. Nanti kalau ada keluhan sebelum waktu kontrol bisa menghubungi asisten saya," ucap Dokter Hendro setelah selesai membungkus kaki kiri Rohan dari atas lutut sampai telapak kaki, menyisakan sedikit jarak untuk jari-jari kaki Rohan.

"Baik, Dokter. Terima kasih banyak," jawab Hamidah dengan senyum getir.

"Mari Bu, ikut saya ke Kasir. Bapak biar tunggu di luar dulu."

Kalimat asisten Dokter Hendro membuat Hamidah sedikit gugup. Dia mengikuti lelaki muda itu, sambil mendorong kursi roda yang diduduki Rohan keluar.

Setelah menempatkan Rohan di deretan kursi tunggu pasien. Lelaki itu kembali mengajak Hamidah ke kasir.

"Tunggu, Pak, mana yang harus saya serahkan ke kasir? Biar saya saja," pinta Hamidah.

"Oh, iya, Bu. Ini resep dan rincian biaya yang harus diserahkan ke kasir." Asisten dokter itu menyerahkan beberapa lembar kertas pada Hamidah.

Segera Hamidah melangkah menuju kasir yang tidak jauh dari tempat itu. Dia mengambil kertas berisi resep dokter, lalu memasukkannya ke dompet.

Perempuan tiga puluh tahun itu, berniat menebus obat nanti, setelah tahu berapa biaya yang harus dibayar tanpa resep.

Di sebuah ruangan yang ditutupi kaca bertuliskan kasir, Hamidah menyerahkan kertas yang diberikan oleh asisten dokter itu. Kemudian, menunggu namanya dipanggil kembali.

Ya, Rabb aku bergantung pada-Mu. Aku dalam keadaan tidak berdaya. Maka, jangan berikan hamba-Mu ini cobaan yang melebihi kemampuanku, pinta Hamidah dalam hati.

Dia menunggu dengan gelisah. Di kepalanya kini melintas biaya-biaya yang harus dikumpulkan, untuk menebus obat dan membeli sepasang tongkat untuk Rohan.

Bergantian dengan wajah dua bocah belahan jiwanya yang dititipkan di rumah tetangga.

"Bapak Rohan, keluarga Bapak Rohan!" Panggilan dari microphone membuyarkan lamunan Hamidah. Dia segera bangkit menuju arah suara.

"Semuanya jadi 780 ribu rupiah, ya, Bu." Hamidah mengangguk, lalu segera mengeluarkan seluruh isi dompetnya.

Alhamdulillah, cukup juga, ucapnya dalam hati dengan sedikit lega. Setelah menerima bukti pelunasan, perempuan dengan jilbab lebar itu bergegas menuju tempat suaminya menunggu.

Sekarang yang dia pikirkan, bagaimana membawa lelaki berkulit putih itu pulang ke rumah dengan kaki digips.

Tadi saja, dia susah payah membonceng suaminya dengan motor kesayangan mereka. Hamidah disambut tatapan lemah, Rohan.

"Bagaimana, Mida? Apa uangnya cukup?" tanya lelaki yang baru saja memasuki usia kepala empat itu, pelan.

"Alhamdulillah, cukup! Tapi resepnya belum bisa kebeli. Sekarang Kakak tunggu di sini dulu, ya. Mida mau cari angkot untuk kita pulang." Hamidah memandang suaminya penuh semangat.

"Mida, apa uangnya masih ada?"

"Tenaaang, masih ada. Kakak enggak usah kuatir."

"Bagaimana tidak kuatir, itu adalah semua uang yang kita miliki." Rohan menatap istrinya sedih.

"Alhamdulillah, Kak. Yang penting sekarang Kakak sudah ditangani dengan baik. Soal uang bisa kita cari lagi. Kita harus banyak-banyak bersyukur. Coba Kakak lihat pemuda yang terbaring di brankar itu. Dia masih muda, tetapi mengidap penyakit mematikan. Kanker paru-paru stadium akhir. Tadi Mida sempat berbicara dengan saudaranya, makanya tahu. Alhamdulillah, kaki Kakak cuma retak, enggak sampai patah. Kakak masih bisa bernapas dengan baik, makan enak, tidur dengan nyenyak. Allah sedang menguji kesabaran kita, Kak. Sampai mana rasa syukur kita setelah sekian lama menikmati karunia-Nya," tutur Hamidah panjang lebar.

Editor : Maryani

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4 5 6 7 8

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network