MATARAM, iNewsMataram.id-Pendanaan untuk membangun smelter dan pabrik yang mengolah output smelter di hilir menjadi produk jadi dengan value added yang maksimal.
Menurut dia, program hilirisasi ini membutuhkan dana besar. Perlu dicari solusi dengan tetap berpegang pada amanah Pasal 33 UUD 45.
Dengan demikian, ke depan tidak perlu lagi memberikan kemudahan khusus yang berlebihan kepada investor, yang menyebabkan perolehan keuntungan investor jauh lebih besar daripada kewajiban yang seharusnya disetor ke APBN sesuai Pasal 33 UUD 45.
"Seperti yang banyak dikritisi atas kehadiran Investor Cina di industri berbasis nikel yang ada di Sulawesi dan Halmahera," ungkapnya.
Dia menegaskan, Indonesia sejatinya sudah berpengalaman dengan program hilirisasi di sektor migas, yang membutuhkan dana besar dan teknologi.
Pengembangan Industri Hilir dari pengelolaan migas nasional bisa dijadikan rujukan/pelajaran dalam program hilirisasi SDA bidang mineral.
Untuk diketahui, di sektor migas, hilirisasi dilakukan dengan mengembangkan cadangan gas besar yang ditemukan oleh investor migas di sisi hulu.
Kemudian, oleh Pertamina sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan berdasarkan UU No.8/1971, cadangan gas tersebut dikembangkan dengan membangun kilang LNG tanpa menggunakan APBN, melainkan 100 persen dari Konsorsium Bank International dengan interest rate yang lebih rendah.
Hal ini, menurut Kurtubi, bisa terjadi karena posisi Pertamina sebagai pemegang kuasa pertambangan sekaligus penanda tangan kontrak bagi hasil dengan investor migas.
Dengan begitu, Pertamina memperoleh kepercayaan tinggi, baik dari investor migas maupun dari pihak lembaga keuangan atau perbankan internasional, yang dampaknya sangat positif terhadap pembiayaan hilirisasi migas.
Agar bisa diterapkan di sektor SDA mineral, sebaiknya negara menyempurnakan pengelolaan SDA mineral serta membentuk perusahaan negara bidang mineral dengan UU dan diberi kuasa pertambangan.
Kemudian, semua investor/penambang mineral berkontrak bagi hasil "B to B" dengan Perusahaan Negara Mineral Pemegang Kuasa Pertambangan ( PNMPKP).
PNMPKP inilah yang berposisi sebagai leader dalam hilirisasi sektor SDA mineral dengan tidak perlu lagi terhambat karena alasan pendanaan. Semua tahapan kegiatan dari Industri terintegrasi hulu-hilir berbasis SDA mineral juga harus dipastikan memperoleh suplai listrik bersih non-intermitten dan lebih murah.
Dengan demikian, semua kegiatan pabrik atau industrinya dari hulu sampai hilir bisa beroperasi 24 jam nonsetop.
"Artinya, PLTN sangat dibutuhkan dalam sistem kelistrikan nasional ke depan guna mempercepat pertumbuhan ekonomi. Tidak terjebak muter-muter di 5% seperti yang terjadi dalam puluhan tahun terakhir ini," ujar Kurtubi.
Dalam sejarah perekonomian, Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekonomi tertinggi mencapai 9.88% pada1980.
Hal itu merupakan buah dari keberhasilan industri migas nasional di bawah UU No 8/1971, yang berhasil menempatkan Indonesia sebagai pengekspor minyak mentah terbesar anggota OPEC di Asia, di luar negara Arab.
Sekaligus sebagai pengekspor LNG terbesar di dunia karena keberhasilan Pertamina membangun industri LNG nasional tanpa menggunakan dana APBN.
Tapi sayang, kata Kurtubi, keberhasilan tersebut dihancurkan oleh UU Migas No 22/2001 hasil cawe-cawe IMF ketika Indonesia memperoleh pinjaman dari IMF saat terjadi krisis moneter 1998.
"Kita butuh perubahan dan penyempurnaan kebijakan di sektor SDA yang bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal itu agar Indonesia terlepas dari jebakan pertumbuhan yang muter-muter di sekitar 5%," tandasnya.
Cita-cita menjadi negara industri maju pada 1945 pun bisa tercapai dengan optimalisasi pengelolaan SDA mineral dan migas sesuai konstitusi lewat program Hilirisasi SDA.
Untuk jangka panjang, migas sebagai energi fosil bisa dikonversi menjadi produk petrokimia secara efisien sehingga tetap bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Para investor SDA mineral akan senang karena kegiatan usaha di hulu sampai hilir bisa beroperasi 24 jam nonsetop, yang ditopang oleh PLTN dengan menggunakan sistem kontrak bagi hasil. Memperoleh kepastian keuntungan bersih setelah cost recovery. (*)
Editor : Maryani
Artikel Terkait