Literasi tentang Bahaya Hoaks

Nurul Asiah
Salah satu berita hoaks. Foto: Istimewa

SUMEDANG, iNewsMataram.id-Media sosial yang hari ini dapat dengan mudah diakses masyarakat merupakan salah satu perwujudan perkembangan teknologi digital.

Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) 2017, sekitar 143 juta orang kini telah terhubung jaringan internet. Sebanyak 49,52% pengguna berada dalam rentang usia 19 hingga 34 tahun.

Pengguna internet dalam rentang usia ini menduduki peringkat tertinggi, disusul posisi kedua usia 35 hingga 54 tahun, yakni 25%.

Ada pun remaja dengan usia 13 hingga 18 tahun menempati posisi ketiga dengan porsi 16,68%. Sisanya ditempati oleh orang tua di atas usia 54 tahun sebanyak 4,24%.

Sejalan dengan ini, peran orang tua dalam mendidik anak tidak lagi dapat mengandalkan peran guru di sekolah. Sebab, sumber informasi anak kini lebih banyak diperoleh melalui gadget.

Tingginya penggunaan gadget berbanding lurus dengan dampak negatif yang akan diperoleh jika tidak ada pendampingan dan bimbingan orang tua.

Salah satunya adalah paparan berita palsu atau hoaks. Dampak hoaks atau disinformasi bisa sangat merugikan dalam berbagi aspek kehidupan.

Maka itu, untuk mengantisipasi dampak buruk hoaks pada anak, orang tua dituntut secara aktif memerangi penyebaran berita palsu dan mengembangkan kemampuan kritis dalam identifikasi hoaks.

Selain itu, pendidikan mengenai literasi informasi dan fakta juga sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini. Memberikan pendidikan anti-hoaks pada anak merupakan langkah penting untuk membantu mengurangi resiko berita palsu dan cara mengidentifikasinya.

Berikut beberapa metode untuk memberikan pendidikan anti-hoaks pada anak:

1. Mengajarkan kepada anak tentang konsep literasi media, termasuk bagaimana cara mengenali sumber berita yang dapat dipercaya, mengevaluasi, dan mengidentifikasi bias yang mungkin ada dalam berita.

2. Menekankan betapa pentingnya mendapat informasi dari sumber terpercaya seperti instansi pemerintah dan Lembaga resmi.

3. Mengajarkan anak tfeknik verifikasi informasi, termasuk melakukan pengecekan fakta, mencari sumber tambahan, dan memastikan bahwa berita telah diverifikasi oleh sumber terpercaya lainnya.

4. Mengajarkan anak untuk mengembangkan kemampuan analis kritis seperti mempertanyakan keaslian berita, mengidentifikasi motif di balik berita, dan menilai kepercayaan informasi tersebut.

5. Mendiskusikan konsekuensi dari menyebarkan berita palsu baik pada tingkat individu maupun masyarakat secara umum, serta bagaimana tindakan semacam itu dapat merusak reputasi individu dan memicu kepanikan.

6. Memberikan contoh berita palsu yang nyata atau studi kasus untuk memberi kesempatan kepada anak untuk berlatih mengidentifikasi berita palsu dan berpartisipasi dalam diskusi kritis.

7. Mengajarkan untuk tidak terlalu mudah terpengaruh oleh informasi yang dibagikan oleh teman di media sosial dan menstimulasi untuk menolak penyebaran berita palsu.

8. Membuka ruang diskusi terbuka di rumah atau di lingkungan keluarga untuk membahas masalah berita palsu dan mengatasi tantangan yang dihadapi anak dalam mengidentifikasi hoaks. Selain pendidikan anti-hoaks, penting untuk mengajarkan anak tentang etika dalam berperilaku di dunia digital, termasuk bagaimana bersikap sopan di media sosial dan memahami konsekuensi tindakan online. Untuk itu, orang tua perlu memberi contoh dalam perilaku online mereka dan menunjukkan bagaimana berperilaku secara bijak dan kritis dalam berbagai informasi. Pendidikan anti-hoaks yang efektif akan membantu remaja menjadi lebih sadar dan bijak dalam mengonsumsi informasi online, yang pada akhirnya melindungi mereka dari resiko terpapar berita palsu dan penyebarannya. Berita palsu atau hoaks ini secara nyata dapat menimbulkan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan mental. Salah satunya ketegangan dan kekhawatiran karena mengandung informasi yang menakutkan dan mengancam. Terpapar secara berulang pada jenis berita palsu semacam ini dapat meningkatkan tingkat kecemasan dan stress sehingga membuatnya merasa terancam dan tidak aman. Berita palsu sering kali mencampuradukkan antara fakta dan informasi palsu ini menciptakan ketidakjelasan sehingga membuat individu merasa bingung dan resah. Hal ini jelas berpotensi memicu perasaan depresi dan putus asa. Berita palsu sering memicu polarisasi dalam kehidupan sosial sehingga membuat individu terpecah dalam kelopok-kelompok tertentu, yang memiliki keyakinan bersebrangan. Keadaan ini akan memancing anak untuk menghabiskan waktu terlalu banyak untuk membantah atau memeriksa berita palsu sehingga mengganggu fokus dan produktivitas. Perlu untuk diingat bahwa dampak berita palsu pada kesehatan mental dapat bervariasi, bergantung pada individu dan tingkat paparan. Apabila anak menjadi korban penyebaran berita palsu, orang tua diimbau untuk tidak panik atau bereaksi emosional, serta tetap berpikir rasional dalam menghadapi situasi tersebut. Ingatlah bahwa berita palsu merupakan masalah yang umum di era digital. Karena itu, ketenangan menjadi kunci utama dalam meminimalkan efek domino dari dampak tersebut. Dalam sebuah studi di University of San Fransisco, para psikolog sepakat bahwa hoaks dapat memberikan dampak buruk pada kesehatan mental, seperti post-traumatic syndrome disorder (PTSD), menimbulkan kecemasan, hingga kekerasan. Psikolog mengungkapkan orang yang terpapar hoaks membutuhkan terapi karena diselimuti kecemasan, stres, dan merasa kesepian karena berita palsu. Psikolog meyakini, berita palsu dihadirkan untuk memanipulasi banyak orang. Sebab, hal tersebut dapat memanfaatkan kelompok orang yang takut, lalu ada kelompok lain yang mengambil keuntungan dari ketakutan tersebut. Perkembangan digital memang menawarkan berbagai kemudahan dalam kehidupan. Namun, jika tidak bijak dalam memilah dan memilih informasi dalam platform digital, justru menyulitkan kehidupan. Penyebaran berita palsu dalam media digital sering kali menggunakan judul sensasional dan provokatif, misalnya dengan langsung mengarah kepada pihak tertentu. Judul yang provokatif sengaja dibuat untuk menarik minat dan rasa penasaran dari pembaca. Isinya dapat diambil dari informasi atau berita media resmi, kemudian direkayasa agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki pembuat hoaks. Karena itu, kecerdasan dan kedewasaan berpikir dalam mengolah informasi sangatlah diperlukan. Penulis Nurul Asiah Unpad

Editor : Maryani

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network