JATINANGOR, iNewsMataram.id-Kondisi kecanduan layar dan gadget merupakan penggunaan gadget elektronik dan internet yang tidak terkendali disertai gangguan perilaku kognisi dan sosial.
Berdasarkan situs New York Times, sebanyak 70% orang tua mengaku mengizinkan anak-anak mereka yang berusia 6 bulan hingga 4 tahun untuk bermain gadget ketika orang tua sedang sibuk.
Sementara itu, sebesar 25% mengaku meninggalkan anak-anak sendiri dengan bermain gadget saat menjelang tidur.
Kebanyakan orang tua menyatakan anak-anak dengan usia di bawah 1 tahun menggunakan gadget untuk bermain game, menonton video, dan bermain aplikasi (Zalina, 2019).
Perkembangan teknologi menjadi hal yang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Seperti yang diketahui, perkembangan teknologi membawa perubahan pada pola kehidupan masyarakat saat ini.
Perubahan itu, seperti kemudahan dalam dunia komunikasi, edukasi, jual-beli, dan hal lainnya.
Kondisi ini menuntut masyarakat untuk penggunaan teknologi di seluruh kalangan tanpa terkecuali.
Tidak jarang anak usia dini kini mahir menggunakan gadget. Hal ini jelas memengaruhi proses tumbuh kembang anak jika tidak mendapat pengawasan dan pendampingan orang tua.
Untuk mendukung pertumbuhan anak pada usia dini secara maksimal, orang tua sudah seharusnya bijak dalam pemberian akses gadget pada anak.
Namun, pada kenyataannya, tidak sedikit orang tua yang belum memahami dampak negatif pemberian gadget pada anak usia dini.
Penggunaan gadget yang berlebihan dapat menimbulkan gangguan perkembangan, mulai aspek kognitif, fisik, motorik, sosial dan emosional, hingga komunikasi.
Selain itu, pemberian gadget pada anak usia dini memperbesar kemungkinan anak akan mengalami kecanduan yang biasa disebut screen dependency disorder (SDD).
Perilaku adiksi juga menimbulkan gangguan pada otak lebih ke arah negatif. Gangguan ini dapat dialami oleh seluruh kalangan usia. Namun, dampak yang lebih besar akan dirasakan jika dialami oleh anak usia dini.
Pencegahan SDD dapat dilakukan orang tua lebih awal, di antaranya menjauhkan perangkat digital dari jangkauan anak, tidak menggunakan gadget untuk menenangkan anak (digital baby sitter), memberi batasan waktu penggunaan gadget, memberi contoh nyata dengan kesepakatan aturan area bebas gadget di dalam rumah, dan memperbanyak aktivitas bermain di luar rumah.
Orang tua harus sadar dan memahami cara penggunaan perangkat digital, baik online maupun offline untuk melindungi keselamatan anak dari ancaman penggunaan teknologi.
Berdasar hasil laporan survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, penetrasi penggunaan internet 2018 berdasarkan umur, pengguna internet terbanyak ada pada usia 15 hingga 19 tahun.
Sementara itu, pengguna terbanyak kedua berada pada umur 20 hingga 24 tahun. Anak usia 5 hingga 9 tahun mencapai 25,2% dari keseluruhan sampel yang berada pada usia tersebut.
Dampak dan pengaruh gadget yang ditimbulkan dapat berupa positif dan negatif.
Karena itu, pengawasan dan pola asuh yang tepat sangat diperlukan dalam menjaga anak dari pengaruh gadget.
Pola asuh dapat diartikan sebagai perlakuan orang tua terhadap anak dalam bentuk merawat, memelihara, mendidik, melatih, dan membimbing yang terwujud dalam bentuk pendisiplinan, pemberian contoh, kasih sayang, hukuman, hadiah, dan kepemimpinan dalam keluarga melalui ucapan dan tindakan orang tua.
Tidak sedikit orang tua yang tidak mengetahui bagaimana cara mengurangi perilaku kecanduan gadget pada anak.
Karena itu, dibutuhkan psikoedukasi terhadap orang tua untuk mengurangi dampak negatif penggunaan gadget pada anak.
Salah satu psikoedukasi yang dapat diberikan kepada orang tua, yakni melakukan smart parenting.
Smart parenting dapat menjelaskan secara terperinci bagaimana pola asuh yang baik dalam era digital ini, bagaimana cara agar perkembangan anak tidak terhambat karena adanya gadget di sekitar anak (Lubis et al., 2019).
SDD sering dikaitkan dengan istilah screen time. Menurut Kementerian Kesehatan Indonesia, screen time adalah waktu yang dihabiskan untuk melakukan kegiatan meliputi menonton televisi, menggunakan laptop/komputer, serta bermain video game dan gawai.
Ciri anak yang telah masuk dalam kategori SDD, di antaranya gejala penarikan diri, kegagalan untuk mengurangi atau menghentikan aktivitas layar, kehilangan minat untuk berinteraksi di luar, berbohong tentang penggunaan layar atau gadget, serta menggunakan penggunaan layar dan gadget untuk melepaskan diri dari suasana hati yang buruk.
Anjuran batas waktu yang dihabiskan di depan layar untuk anak adalah 1 jam per hari pada anak usia 2 hingga 5 tahun dan 2 hingga 3 jam per hari untuk anak dengan usia lebih dari 5 tahun. Pada anak di bawah usia 18 bulan tidak diperbolehkan adanya screen time.
Orang tua dianjurkan untuk memiliki hari bebas televisi atau gadget lainnya kepada anak. Selain itu, pastikan jika konten yang ditonton bersifat mendidik dan sesuai usia mereka.
Pada era digital ini telah banyak ditemukan kecanduan terhadap layar menjadi masalah serius di berbagai negara di seluruh dunia.
Kecanduan ini ditandai dengan perilaku yang tidak sehat, mulai fisik hingga mental.
Penggunaan layar yang tinggi termasuk video game pada anak menimbulkan adaptasi saraf dan perubahan struktural daerah syaraf yang berhubungan dengan kecanduan.
Hal ini memicu sedentary anak lebih besar sehingga kebugaran aerobik vital berkurang terutama dalam struktur dan fungsi otak.
Orang tua (ayah dan ibu) memiliki peran yang sama dalam melindungi dan mendidik anak.
Namun, pada umumnya, ibu lebih banyak mendampingi anak. Agar orang tua, termasuk ibu, berfungsi tepat dalam mendampingi anak sebagai bentuk perlindungan dan pendidikan menyoal SDD, diperlukan telaahan sejauh mana perspektif atau pandangan ibu terhadap SDD dan lama penggunaan layar anak.
Dengan demikian, hasilnya dapat digunakan sebagai bahan penyuluhan pencegahan SDD.
Salah satu pendiri Microsoft dan tokoh terkemuka dalam industri teknologi menawarkan perspektif yang unik. Terlepas dari perannya yang sangat penting dalam revolusi digital, Bill Gates sangat menyadari potensi jebakan penggunaan gadget secara berlebihan.
Ia menganjurkan pendekatan yang seimbang terhadap teknologi dan menekankan pentingnya menetapkan batas waktu di depan layar. Juga mendorong bentuk-bentuk pembelajaran dan hiburan lainnya.
Para ahli lain di bidang ini juga memiliki pendapat yang sama. Para psikolog dan pendidik anak menekankan pentingnya interaksi tatap muka dan permainan fisik untuk perkembangan sosial dan emosional anak.
Mereka memperingatkan agar tidak mengganti aktivitas penting ini dengan waktu di depan layar, tidak peduli seberapa edukatifnya konten tersebut.
Menurut spesialis Kehidupan Keluarga dan Perkembangan Anak dan konsultan Pendidikan Anak Usia Dini Claudette Avelino-Tandoc, gangguan ketergantungan layar pada anak dapat menyebabkan insomnia, sakit punggung, penambahan atau penurunan berat badan, masalah penglihatan, sakit kepala, kecemasan, ketidakjujuran, perasaan bersalah, dan kesepian.
Namun, pada akhirnya, efek jangka panjang dari gejala-gejala ini sama parahnya dengan kerusakan otak.
Berbagai penelitian mengeksplorasi masalah ini membuktikan bahwa otak anak-anak menyusut atau kehilangan jaringan di lobus frontal, striatum, dan insula.
Padahal, bidang-bidang ini membantu mengatur perencanaan dan pengorganisasian, menekan dorongan-dorongan yang tidak dapat diterima secara sosial, dan kapasitas untuk mengembangkan kasih sayang dan empati. (*)
Editor : Maryani
Artikel Terkait