JATINANGOR, iNewsMataram.id-Peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat kita menggambarkan betapa mereka tercetak menjadi kalangan pragmatis parah.
Mereka tidak lagi mampu berpikir jernih dan kritis, alih-alih mendalami potensi besarnya menjadi agen perubahan.
Kurangnya literasi keuangan, masyarakat menjadi sasaran empuk untuk penyesatan teknologi keuangan oleh oknum-onum tidak bertanggung jawab.
Ini hanyalah sekelumit peristiwa tentang minimnya literasi sektor keuangan digital.
Di luar sana, tidak sedikit sektor-sektor lain turut menelan korban akibat minimnya budaya literasi.
Dalam kasus bersosial media, contohnya. Masalah yang terjadi di media sosial tidak jarang bersumber dari ketidakmampuan netizen dalam mencerna serta memahami informasi dalam bentuk tulisan atau penjelasan.
Kombinasi antara rendahnya minat baca dan sempitnya nalar seringkali membuat pengguna sosial media terjebak tawuran online hingga undang-undang ITE.
Kegagalan memahami narasi cukup memberikan andil pada kesimpulan yang salah.
Kita tentu belum lupa dengan kasus-kasus yang terjadi ketika memasuki tahun-tahun politik.
Selain masyarakat nyata yang terbagi dalam tiap-tiap kubu, jagat maya pun turut terbelah sehingga terjadi saling serang baik dalam komentar maupun opini.
Tidak jarang mereka yang berada di dalam satu kubu saling berbagi postingan. Bahkan, mereka membubuhkan narasi pribadi tanpa membaca dan memahami secara utuh apa yang mereka bagikan.
Padahal, literasi tidak hanya berhenti pada kegiatan membaca atau sekadar melek huruf. Lebih dari itu, literasi tidak hanya tentang membaca maupun menulis.
Menurut Elizabeth Sulzby (1986), literasi ialah kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi “membaca, berbicara, menyimak dan menulis” dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya.
Jika didefinisikan secara singkat, definisi literasi, yaitu kemampuan menulis dan membaca.
Sejalan dengan perkembangan zaman, selain literasi baca dan tulis, kini turut berkembang pula literasi budaya, digital, finansial, sains, dan banyak lainnya.
Minimnya literasi cukup membuat sebagian masyarakat kita mudah terpengaruh hal-hal yang tidak terbukti atau hoax.
Mereka yang tidak terbiasa dengan budaya membaca membuat penalarannya menciut. Informasi apa pun yang masuk akan sulit terdeteksi oleh otak untuk dicerna dengan tepat.
Belum lagi tentang cybersecurity, saya yakin tidak sedikit masyarakat yang cenat-cenut mendengar ini.
Berita-berita pembobolan akun mobile banking, tabungan-tabungan yang terkuras misterius, transaksi-transaksi hantu, transaksi tanpa barang maupun jasa alih-alih pekerjaan sampingan.
Seperti yang kita tahu, handphone hari ini sangat akrab dengan masyarakat dari usia balita hingga tua. Entah sekadar untuk bermain atau saling berkabar.
Rendahnya pengetahuan masyarakat kita akibat minimnya budaya literasi membuat mereka rawan mengalami tindak kejahatan cyber.
Alih-alih menyambut teknologi digital, justru menjadi korban tindak kejahatan digital dengan sekali sentuhan ujung jari.
Di zaman serbadigital saat ini, sudah semestinya kita meningkatkan pengetahuan tentang apa itu digital dan aktivitas apa pun di dalamnya.
Pasalnya, tidak sedikit tindak kejahatan cyber hanya dengan mengirim tautan atau pesan-pesan pengunduhan aplikasi dengan mengatasnamakan instansi.
Apalagi, jika device yang disasar, terdapat data penting seperti e-banking.
Bagaimana mengambil data kita dengan handphone atau PC? Bagaimana data kita menyebar? Bagaimana seseorang menjadi tidak sadar telah menjadi sasaran kejahatan cyber? Bagaimana seseorang ringan melakukan kejahatan?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu hanya dapat terjawab dengan meningkatkan budaya literasi sehingga meningkatkan pengetahuan dan pemahaman peradaban dengan sadar dan utuh.
Penulis: Nurul Asiah
Pustakawan
Editor : Maryani
Artikel Terkait