get app
inews
Aa Read Next : Liburan Seru di Tiga Gili Sekotong  

Upaya Hukum Masih Berjalan, Tergugat Pertanyakan Surat Konstatering PN Mataram

Sabtu, 23 Maret 2024 | 11:09 WIB
header img
Lokasi lahan sengketa di Gili Sudak, Sekotong, Lombok Barat. Foto: iNewsmataram.id/Muzakkir

Lombok Barat,iNewsmataram.id- Tergugat yang memiliki sertifikat lahan di  Gili Sudak menentang surat penetapan konstatering yang dikeluarkan Pengadilan Negeri (PN) Mataram Nomor: 142/Pdt.G/2019/PN.Mtr tanggal 24 Januari 2024 yang di mohonkan oleh Muksin Maksun. Pengeluaran surat penetapan ini diduga prematur dan lemah secara hukum.

Ditemui di Gili Sudak, Andi Yusuf tim hukum dan pengelola lahan Ibu Debora Sutanto pada ( 22/03/2024) menuturkan asal muasal lahan yang disengketakan Muksin Maksun c's.

Awalnya, ibu Debora Sutanto membeli lahan di Gili Sudak dusun Medang Sekotong Lombok Barat atas dasar sertifikat pada tahun 2015. Tanah itu dibeli dari ibu Emita Dwina Taihutu yang awalnya dimiliki oleh bapak Virianadi Haryanto Tejo Prayitno (Bitsu).

Proses penerbitan sertifikat itu dilakukan oleh Bapak Virianadi pada tahun 2004 dan selama proses penerbitan sertifikat tersebut tidak ada persoalan atau keberatan yang diajukan oleh siapapun termasuk penggugat saat ini Muksin Maksun.

"Kami pun heran kok tiba-tiba pada tahun 2017 masuk gugatan dari Muksin Maksun yang jelas-jelas tidak pernah menguasai tanah tersebut. Saya yang selalu menjaga dan memelihara apapun yang ada di tanah ini. Tanah ini di beli sudah berganti pemilik berkali-kali dan itu sudah berganti nama sertifikat itu berkali-kali, baik dari pak Virianadi, ibu Emitha dan sampai ibu Debora di tahun 2015” Tutur Andi Yusuf Tim Hukum Debora Sutanto.

Menurut Andi, penggugat Muksin Maksun sempat datang ke lokasi pada bulan Mei tahun 2017 dengan berpura-pura menanyakan lahan yang akan di beli dengan luas +\_ 2 hektar milik I Putu Romi Yuliawan.

Tetapi di kesempatan itu, Muksin lebih sering menanyakan tentang tanah-tanah lain yang disengketakan oleh Muksin Maksun termasuk tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh Debora Sutanto.

Terkait itu, Andi menjelaskan bahwa tanah yang dimiliki Debora telah bersertifikat jauh sebelum Mereka datang ke Gili Sudak.

"Dari mana ibu Debora membeli tanah, yang saya bisa terangkan bahwa ibu Debora membeli tanah ini sudah bersertifikat dan sebelum dibayar, beliau sudah melakukan pengecekan di BPN Lombok Barat," Ujar Andi Yusuf.

Namun, keesokan harinya Andi malah menerima informasi dari penjaga di Gili Sudak bahwa Muksin Maksun dengan melibatkan banyak orang masuk lagi ke Gili Sudak dan memasang patok

Sementara itu, tim hukum tergugat lainnya yang mempunyai permasalahan yang sama yaitu Sutanto Kurniandi mempersoalkan  dasar jual beli lahan yang diduga dilakukan secara bawah tangan pada tahun 1974.

Pihaknya menilai, proses jual beli itu tidak dilakukan dengan mekanisme aturan agraria. Bahkan legalisasi bukan oleh pejabat setempat, justru berlangsung di Ampenan, Lingkungan Barat Peken Kota Mataram.

Seharusnya, legalisasi disahkan oleh Kepala Desa Sekotong Barat. "Jadi kan tidak cocok. Padahal lokasinya ada di Sekotong dan berbeda kecamatan” ketus Kurniandi.

Menurutnya, secara logis, orang memiliki tanah sejak 1974 seharusnya menguasai lahan. Baik membuka bisnis, bercocok tanam, atau lainnya. "Ini kan tidak logis, sertifikat ( Debora Susanto) yang dari 2004 kemudian dimanfaatkan sampai sekarang. Lalu kenapa dipermasalahkan sekarang?," tanyanya heran.

Dia juga mempersoalkan dasar gugatan Peninjauan Kembali (PK) baik untuk menentukan batas luas dan letak. Terlebih, dalam gugatan pemohon eksekusi tersebut didasari atas pemetaan dan pengukuran kadastral yang bertujuan untuk menerbitkan sertifikat.

Apalagi sampai melibatkan tim BPN untuk mengukur, memasang patok, dan melakukan sandingan. Terkait permohonan eksekusi itu, ada dua pihak yang menolak dan melawan. Salah satunya, Debora yang sudah mengambil langkah hukum Verzet untuk mempertahankan haknya.

Lagipula, tanah tersebut dibeli melalui mekanisme aturan hukum agraria dan hukum jual beli tanah yang disahkan negara. "Bu Debora sidangnya sudah mulai berjalan. Sementara lainnya, sidang pertama di tanggal 28 nanti," bebernya.

Kendati demikian, Kurniadi tetap menghormati keputusan PK tersebut. Tetapi berbicara prinsip kepastian hukum, pihaknya berupaya melakukan perlawanan atau bantahan yang sudah masuk ke pengadilan.

Beberapa substansi yang dipermasalahkan seperti posisi, letak, luas dan sebagainya. Kemudian amar yang tidak komplit, yang dalam amar putusannya tidak ada perintah untuk membongkar.

"Sehingga mereka tidak bisa membongkar ini. Karena mereka harus lakukan sesuai amar putusan. Itu juga kelemahannya," tegas pria berambut gondrong ini.

Atas dasar itulah masyarakat tetap bergerak dan menolak tanpa terkoordinir sampai kapanpun. "Masyarakat bergerak secara sukarela, karena melihat persoalan ini menghambat sektor pariwisata," sebutnya.

Warga mempertanyakan dasar dari Pengadilan Negeri Mataram mengeluarkan putusan tersebut, bagaimana bisa tetap dipaksakan mau melakukan konstatering ataupun eksekusi, sedangkan gugatan perlawanan sudah berjalan, bagaimana bisa Pengadilan Mataram sendiri tidak menghormati proses pengadilan yang berjalan di wilayah sendiri?.

Dengan tegas, Kurniadi mengatakan tidak ada sama sekali orang dengan nama Muksin Maksun yang dikenal oleh masyarakat setempat.

"Masyarakat yang turun tadi, adalah masyarakat setempat yang tahu silsilah. Tapi ini asing bagi mereka," jelasnya.

Hendi Ronanto, Kuasa Hukum pihak penggugat yang mengaku dimenangkan MA menyanggah apa yang disampaikan pihak pengacara Awanadhi Aswinabawa.

Menurutnya, juru sita pengadilan yang datang ke Gili Sudak bukan hendak mengeksekusi lahan. Melainkan konstatering atau pencocokan objek terhadap objek sengketa di Gili Sudak.

"Itu bukan ekskusi, tapi Konstatering atau pencocokan data antara berkas dengan batas-batas di lapangan, apa kondisi terakhir di lapangan. Jadi keliru dan berlebihan kalau itu dibilang itu eksekusi, karena penetapan eksekusi belum keluar," jelas Hendi.

Dia mengatakan, negara melalui lembaga yudikatifnya telah mengeluarkan putusan MA yang memenangkan pihaknya.

"Kami memegang putusan PK nomor 366 tahun 2023 bulan Agustus. Kami menang," tegasnya. Karena menang PK, maka negara memberikan hak ke kliennya atas lahan tersebut.

Menurutnya, tindakan itu bukan di luar hukum yang berlaku. Konstatering ini merupakan bagian dari proses prosedur menuju eksekusi lahan yang dimohonkan oleh kliennya.

Terkait kapan lahan itu akan dieksekusi, tu akan ditentukan oleh pihak Pangadilan Negeri Mataram. Adapun pengajuan permohonan eksekusi atas dasar putusan MA yang sudah Incrah atau berkekuatan hukum tetap atas hak dari kliennya.

Kliennya sendiri merupakan ahli waris dari pemilik lahan itu, yang membeli secara adat pada tahun 1974. Itu diakui oleh negara. Mereka yang pertama hadir di lahan itu dan digarap oleh dua warga, yang telah bersumpah di persidangan.

Kemudian lahan dalam proses sengketa, kliennya memenangkan sidang pertama di PN Mataram. Selanjutnya, tergugat melakukan upaya banding, dan lagi-agi kliennya juga menang.

Kliennya  kalah pada tingkat kasasi, dan mengajukan PK ke MA dan kembali  menang. Kliennya langsung mengajukan permohonan eksekusi atas lahan tersebut.

Dia meminta  tergugat menghormati putusan MA ini, bahkan Putusan MA memerintahkan segera melakukan pengosongan.

Editor : Edy Gustan

Follow Berita iNews Mataram di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut