SELONG, iNewsMataram.id-Lelaki dengan rambut sewarna perak itu, memandang keluar dari balik jendela yang terbuka lebar.
Dia melihat air langit yang jatuh satu demi satu seperti berlomba menyentuh tanah.
Tatapannya memang ke halaman yang mulai basah oleh rintik hujan sore itu, tetapi jiwanya mengembara melintasi masa.
"Kak, minum dulu kopinya. Nanti keburu dingin," tegur Hamidah sang istri melebur lamunannya.
"Kenapa kakiku belum juga enakan ya, Mida?" Bukannya menyentuh gelas berisi kopi pahit di hadapannya, Rohan malah melempar tanya.
"Sabar, Kak. Besok pagi kita 'kan mau ke rumah sakit. Semoga semuanya segera ada jalan keluarnya."
"Andai saja aku tidak lewat jalan itu, mungkin semuanya tidak akan terjadi," sesalnya.
"Astaghfirullah, Kak. Semuanya sudah takdir tak perlu disesali." Hamidah mengingatkan, sambil duduk di lantai semen. Menghadap pada kaki kiri Rohan yang tampak sedikit membengkak.
Perlahan, dia mulai mengolesi kaki sang suami dengan minyak urut. Itu adalah obat pemberian Mbah Slamet, tukang pijat yang mereka panggil lima hari lalu.
Semuanya bermula saat pagi itu, Rohan pamit pergi bekerja seperti biasa menggunakan motor bututnya.
Karena merasa akan terlambat sampai di tempat kerja sebagai kuli bangunan, Rohan memilih melewati jalan pintas.
Sayang, niatnya untuk bisa segera sampai, hancur diterabas kawanan remaja berseragam putih abu-abu yang melaju tak terkendali dari arah berlawanan.
Rohan diserempet hingga jatuh menghantam aspal dan motornya masuk ke anak sungai di sisi jalan.
Bukannya menolong atau meminta maaf gerombolan remaja labil itu malah tancap gas meninggalkan Rohan yang terkapar kesakitan.
Beruntung, Pak RT melewati jalan itu dan melihat Rohan. Dia segera mencari bantuan dan membawa lelaki pendiam itu pulang.
Hamidah yang baru saja sampai rumah. Setelah mengantar kedua anaknya ke sekolah, sambil menitipkan kue-kue buatannya ke warung-warung, histeris melihat suaminya digotong Pak RT dan dua orang warga kampung.
Tangisnya pecah membelah pagi, melihat sang suami yang setengah jam lalu berangkat dengan bersih, pulang dalam keadaan kotor, memar dan berdarah. Membuat beberapa orang tetangga berdatangan.
Pak RT menyarankan Hamidah segera memanggil Mbah Slamet, tukang pijat yang tersohor di kampung mereka. Untuk membantu mengobati kaki kiri Rohan yang diduga terkilir, hingga tidak bisa berjalan.
Namun, lima hari setelah dipijat Mbah Slamet, kaki Rohan belum juga membaik. Memang bengkak di lutut kirinya sedikit berkurang, tetapi rasa sakit seperti sesuatu yang menusuk lututnya tidak juga bisa hilang.
Padahal, biasanya pijatan Mbah Slamet sangat manjur. Semua itu membuat Hamidah berpikir membawa Rohan ke rumah sakit terdekat, untuk memeriksa secara detail kaki kiri sang suami.
Beruntung, mereka mendapat pinjaman lima ratus ribu dari Bang Rusli, mandor tempat Rohan bekerja.
Hamidah berharap semoga uang itu cukup untuk berobat besok. Mengingat asuransi kesehatan rakyat jelata yang mereka miliki, sudah tiga tahun tidak pernah dibayar. Maka Hamidah tidak akan menggunakan asuransi itu.
"Ternyata kaki Bapak memang retak, Pak." Dokter dengan papan nama bertuliskan dr. Hendro Sp.Ot itu menjelaskan, setelah membaca hasil rontgen yang diserahkan Hamidah.
Tadi, setelah diperiksa sebentar oleh Dokter Hendro. Mereka disuruh untuk foto rontgen. Kemudian kembali lagi untuk mengetahui hasilnya, serta tindakan apa yang akan diberikan.
"Sebelah sini, itu yang membuat Bapak tidak bisa berjalan. Akan terasa nyeri bila dipaksakan. Dan memang tidak boleh dipakai jalan dulu, selama enam minggu." Lelaki berjas putih dengan kacamata tebal itu menunjukkan letak retakan pada kaki kiri Rohan. Tepat di bawah sendi pada lutut kirinya.
Rohan hanya diam mematung, wajahnya berubah pias mendengar penjelasan Dokter Hendro. Dia tidak bisa mencerna kata-kata dokter itu lagi.
"Jadi solusinya bagaimana, Dok?" tanya Hamidah pelan, dia pun sama kagetnya dengan sang suami.
"Karena retaknya tidak terlalu besar, masih bisa dibantu gips."
"Baik, Dok, lakukan yang terbaik untuk suami saya. Setelah di gips, apa suami saya bisa berjalan lagi Dokter?" tanya Hamidah lagi.
"Insyaallah, bisa. Karena kebetulan tulang bagian ini lebih cepat tumbuh daripada tulang kering. Kita berdoa sama-sama, ya, Bu." Penjelasan Dokter Hendro sedikit menenangkan Hamidah.
Namun, tidak untuk Rohan. Dia masih membisu, sibuk dengan pikirannya sendiri. Berbagai kekhawatiran bergelayut dalam otaknya.
Enam minggu dia harus istirahat total. Tidak bisa keluar bekerja itu sama saja dengan tidak dapat upah.
Artinya, anak-istrinya akan kelaparan. Sedangkan tiap hari saja, saat dia bekerja tanpa kenal lelah, kehidupannya sangat memperhatikan, Rohan terus membatin.
"Baik, Bu. Akan kami lakukan," ucap Dokter Hendro mantap, memecah lamunan Rohan.
Kemudian, dokter setengah baya itu memanggil asistennya untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.
Ketika Dokter dan asistennya itu sedang berbicara, Rohan menarik tangan Hamidah pelan.
"Bagaimana dengan biayanya? Apa uang kita cukup?" bisiknya pelan di depan wajah sang istri.
"Insyaallah cukup," jawab Hamidah dengan berbisik pula.
Hamidah berusaha tenang di hadapan suaminya, padahal jauh di lubuk hati dia sedang berdoa. Berharap semoga uang pinjaman dari Bang Rusli dan sedikit simpanannya, bisa mencukupi biaya pengobatan Rohan.
Dia menepuk-nepuk perlahan dompet biru tua yang mulai kusam warnanya itu, menyembunyikan kegelisahan yang mulai mendera.
Batinnya terus menjerit menyebut nama Allah, berharap uang delapan ratus ribu di dalam dompetnya cukup.
Dokter Hendro kembali menerangkan tindakan yang akan dilakukan, jenis gips yang akan dipakai dan sebagainya.
Sepasang suami-istri itu mengangguk-anggukkan kepala seolah mengerti.
Nyatanya, Hamidah sibuk menerka-nerka berapa biaya yang akan dikeluarkan nanti. Sedangkan Rohan, sibuk menghitung hari yang akan dihabiskan di rumah, tanpa melakukan kegiatan seperti biasanya.
"Kalau sudah begini, sebaiknya Bapak memakai tongkat untuk membantu berjalan. Tetapi kaki kiri Bapak belum boleh dipakai menapak ya, Pak. Nanti kalau ada keluhan sebelum waktu kontrol bisa menghubungi asisten saya," ucap Dokter Hendro setelah selesai membungkus kaki kiri Rohan dari atas lutut sampai telapak kaki, menyisakan sedikit jarak untuk jari-jari kaki Rohan.
"Baik, Dokter. Terima kasih banyak," jawab Hamidah dengan senyum getir.
"Mari Bu, ikut saya ke Kasir. Bapak biar tunggu di luar dulu."
Kalimat asisten Dokter Hendro membuat Hamidah sedikit gugup. Dia mengikuti lelaki muda itu, sambil mendorong kursi roda yang diduduki Rohan keluar.
Setelah menempatkan Rohan di deretan kursi tunggu pasien. Lelaki itu kembali mengajak Hamidah ke kasir.
"Tunggu, Pak, mana yang harus saya serahkan ke kasir? Biar saya saja," pinta Hamidah.
"Oh, iya, Bu. Ini resep dan rincian biaya yang harus diserahkan ke kasir." Asisten dokter itu menyerahkan beberapa lembar kertas pada Hamidah.
Segera Hamidah melangkah menuju kasir yang tidak jauh dari tempat itu. Dia mengambil kertas berisi resep dokter, lalu memasukkannya ke dompet.
Perempuan tiga puluh tahun itu, berniat menebus obat nanti, setelah tahu berapa biaya yang harus dibayar tanpa resep.
Di sebuah ruangan yang ditutupi kaca bertuliskan kasir, Hamidah menyerahkan kertas yang diberikan oleh asisten dokter itu. Kemudian, menunggu namanya dipanggil kembali.
Ya, Rabb aku bergantung pada-Mu. Aku dalam keadaan tidak berdaya. Maka, jangan berikan hamba-Mu ini cobaan yang melebihi kemampuanku, pinta Hamidah dalam hati.
Dia menunggu dengan gelisah. Di kepalanya kini melintas biaya-biaya yang harus dikumpulkan, untuk menebus obat dan membeli sepasang tongkat untuk Rohan.
Bergantian dengan wajah dua bocah belahan jiwanya yang dititipkan di rumah tetangga.
"Bapak Rohan, keluarga Bapak Rohan!" Panggilan dari microphone membuyarkan lamunan Hamidah. Dia segera bangkit menuju arah suara.
"Semuanya jadi 780 ribu rupiah, ya, Bu." Hamidah mengangguk, lalu segera mengeluarkan seluruh isi dompetnya.
Alhamdulillah, cukup juga, ucapnya dalam hati dengan sedikit lega. Setelah menerima bukti pelunasan, perempuan dengan jilbab lebar itu bergegas menuju tempat suaminya menunggu.
Sekarang yang dia pikirkan, bagaimana membawa lelaki berkulit putih itu pulang ke rumah dengan kaki digips.
Tadi saja, dia susah payah membonceng suaminya dengan motor kesayangan mereka. Hamidah disambut tatapan lemah, Rohan.
"Bagaimana, Mida? Apa uangnya cukup?" tanya lelaki yang baru saja memasuki usia kepala empat itu, pelan.
"Alhamdulillah, cukup! Tapi resepnya belum bisa kebeli. Sekarang Kakak tunggu di sini dulu, ya. Mida mau cari angkot untuk kita pulang." Hamidah memandang suaminya penuh semangat.
"Mida, apa uangnya masih ada?"
"Tenaaang, masih ada. Kakak enggak usah kuatir."
"Bagaimana tidak kuatir, itu adalah semua uang yang kita miliki." Rohan menatap istrinya sedih.
"Alhamdulillah, Kak. Yang penting sekarang Kakak sudah ditangani dengan baik. Soal uang bisa kita cari lagi. Kita harus banyak-banyak bersyukur. Coba Kakak lihat pemuda yang terbaring di brankar itu. Dia masih muda, tetapi mengidap penyakit mematikan. Kanker paru-paru stadium akhir. Tadi Mida sempat berbicara dengan saudaranya, makanya tahu. Alhamdulillah, kaki Kakak cuma retak, enggak sampai patah. Kakak masih bisa bernapas dengan baik, makan enak, tidur dengan nyenyak. Allah sedang menguji kesabaran kita, Kak. Sampai mana rasa syukur kita setelah sekian lama menikmati karunia-Nya," tutur Hamidah panjang lebar.
Dia mencoba menguatkan hati sang suami. Lelaki pemilik rambut ikal yang beruban sejak remaja itu beristighfar. Rohan mengusap wajahnya dengan gusar, dalam hati dia membenarkan kata-kata Hamidah.
"Alhamdulillah, ya, Mida," ucap Rohan pelan.
"Tapi, sebulan lebih aku tidak bekerja, bagai …."
"Jangan takut, ada Allah. Allah kaya, dan dia tahu keadaan kita. Selama kita bersama-Nya, pasti ada jalannya," potong Hamidah cepat.
Dia menggenggam tangan kasar lelaki yang telah delapan tahun menemani hari-harinya dengan penuh tanggung jawab.
Rohan menatap istrinya dengan netra berkaca-kaca. Rasa syukur memenuhi rongga dadanya, atas anugerah istri sesabar dan sebaik Hamidah.
Perempuan bertubuh langsing dengan segala kelebihannya. Perempuan yang telah memberikannya sepasang anak kembar cantik dan ganteng, berusia enam tahun.
Hamidah rela hidup menderita bersamanya dan meninggalkan keluarganya yang berkecukupan.
"Kakak tunggu di sini, ya, Mida mau cari angkot. Kita pulang, kasian Hasan dan Hasina menunggu kita terlalu lama di rumah Mbak Jum." Rohan mengangguk setuju.
Dia teringat akan dua anaknya yang dititipkan pada tetangga samping rumah. Hamidah bergegas keluar area rumah sakit, menuju tempat angkutan kota biasa mangkal.
Dia melihat kembali isi dompetnya, tanpa terasa air mata yang sedari tadi dibendung tumpah juga. Lantunan istighfar membasahi bibirnya.
Cepat-cepat Hamidah menghapus jejak pilu di wajahnya, ketika telepon seluler tanpa kamera yang tersimpan dalam saku celana gombrongnya berdering.
"Hamidah, saya mau pesan kue basah lima puluh kotak untuk besok lusa. Bisa enggak?" tanya seseorang di seberang sana.
"Bisa, Bu Hajjah, bisa!" jawab Hamidah mantap, senyum terkembang di wajah tirusnya.
Langkah Hamidah kian mantap. Hamdalah terus meluncur dari bibir tipisnya. Dia bersyukur hari ini bisa dilalui dengan kemudahan dari Allah, esok hari biar jadi rahasia-Nya.
Keyakinannya dibalas tunai oleh Allah. Karena dia yakin setiap kesulitan pasti ada jalan untuk orang-orang yang mau berusaha dan tidak putus asa. (*)
Penulis:
Dianty Ahmad, lahir dan besar di Selong, Lombok Timur. Hobi membaca dan menulis mengantarkan ibu tiga anak ini ke dalam dunia literasi.
Beberapa karya lainnya sudah banyak dibukukan dalam antologi bersama penggiat literasi lainnya.
Pemilik akun FB dan Instagram Ari Dianty Ahmad ini, berharap ada pesan yang dapat dipetik dalam setiap karyanya.
Editor : Maryani