JATINANGOR, iNewsMataram.id-Era digital yang akrab dengan jargon dunia di ujung jari tentunya tidak asing lagi bagi masyarakat kita.
Teknologi menuntut masyarakat untuk aktif jika tidak ingin tertinggal kemajuan zaman tanpa memandang usia.
Terlebih, maraknya sosial media turut memengaruhi pembangunan pola pikir dan tindakan.
Kita tidak menampik jika kemajuan teknologi memiliki dampak positif bagi pengguna. Namun, sebaliknya, tidak sedikit masyarakat kita yang justru terjatuh cukup fatal ke dalam pengaruh negatif tanpa disadari.
Hal seperti ini sebagian besar terjadi karena minimnya budaya literasi sehingga banyak masyarakat terjebak, khususnya masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah.
Sebab, diakui atau tidak, rendahnya budaya literasi berkaitan erat dengan tingginya angka putus sekolah sehingga memengaruhi besaran persentase kebodohan tanpa ujung.
Inilah kemudian yang menjadi rangkaian pembengkakan jumlah kemiskinan dan kriminalitas.
Rendahnya budaya literasi menjadi salah satu penyebab turunnya kompetensi sehingga daya saing menurun.
Tanpa dukungan literasi yang memadai, ilmu pengetahuan akan sulit bertransformasi menjadi kreativitas.
Jika seperti ini, masyarakat dengan kemampuan dan pengetahuan minim akan sulit menghadapi persaingan dunia kerja.
Akibatnya, tingkat kriminalitas meningkat dengan alasan butuh untuk tetap hidup ataupun sekadar tuntutan gaya hidup.
Korban pinjaman online, misalnya, ini menjadi indikasi minimnya budaya literasi sektor keuangan digital.
Ini jelas menjadi pelajaran penting bagi masyarakat. Jika ingin melakukan pinjaman keuangan, kita haruslah mengenali risiko yang diterima.
Tidak sedikit di sekitar kita masyarakat yang terjerat pinjaman online. Alih-alih menutupi kebutuhan, justru malah menjadi petaka.
Rumah tangga berujung perceraian, anak putus sekolah, kehilangan pekerjaan, kehilangan harta benda, bahkan kehilangan nyawa akibat intimidasi masif oleh pihak pemberi pinjaman.
Begitu juga dengan investasi digital yang kian marak menyasar masyarakat usia produktif.
Belum lama ini, sebanyak 116 mahasiswa salah satu perguruan tinggi menjadi korban penipuan dengan modus bagi hasil dari nilai investasi yang mereka berikan dengan berutang melalui pinjaman online.
Dalam kasus ini, setiap mahasiswa berutang melalui pinjaman online senilai Rp2 juta hingga belasan juta rupiah, dengan jumlah total diperkirakan mencapai 900 juta.
Karena terjadi akumulasi antara tagihan dan bunga pinjaman, jumlahnya diperkirakan mencapai Rp2,1 miliar.
Kini, mereka harus membayar cicilan tersebut, dan tidak jarang mereka mendapat teror dari penagih utang.
Memang benar jika ekonomi digital adalah bagian era ekonomi 4.0. Negara kita bahkan menempati urutan pertama ekosistem digital berdasarkan nilai data Global Startup Ecosystem Report 2020.
Ini tentu menjadi ekosistem yang cukup subur, bahkan kondusif bagi perkembangan digitalisasi keuangan.
Jelas sekali digitalisasi ekonomi adalah kemasan yang mencitrakan seolah telah terjadi kemajuan teknologi keuangan beserta transaksi ekonomi di dalamnya.
Kredit-kredit digital e-commerce menjadi sesuatu yang tidak asing pada masyarakat. Ini jelas menjadi tamparan bagi kita, terlebih dunia pendidikan di tengah derasnya narasi world class university.
Penulis: Nurul Asiah
Pustakawan
Editor : Maryani